Senin, 09 Januari 2017

Tentang Menyerah Pada Kemunafikan

Dalam suatu dermaga yang dipenuhi banyak kapal yang juga penuh dengan muatan, kita akan mengerti bagaiman arasanya disinggahi kemudian ditinggal pergi.
Seringkali kita tidak menyadari bahwa bagian terbaik dari rasa sakit adalah melupakan semuanya yang pernah berkesan, dan selalu dibuat percaya pada cerita indah yang menanti disana, yang kenyataannya hanyalah dusta belaka yang begitu hebat untuk disembunyikan.
Tentang perasaan bicara tentang bagian terindah dari kemunafikan
Ketika seorang petani yang ingin membajak sawah, namun sudah tidak ada lagi tempat yang harus dibajak, untuk apa berlama-lama tinggal?
Keputusan untuk pergi dengan inisiatif, tidak perlu menunggu diusir.
Tentang perasaan, tentang kemunafikan, tentang sandiwara, semuanya mengarah pada satu hal yang spesifik, yaitu selalu tentang yang tak terucapkan.
Semakin lama kita peduli, semakin besar rasa kemunafikan kita yang harus terus berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apa-apa dalam keadaan yang belum tentu baik-baik saja.
Oleh sebab itu, semakin besar juga rasa bersalah kita dan akhirnya terbilang pada kategori menyerah pada kemunafikan.
Semakin besar rasa kepedulian kita, maka semakin besar juga dorongan kita untuk menyerah, kemudian melepaskan
Hal yang indah bukan?
Ketika kedua sayap indah seekor burung terpampang jelas begitu indahnya bersama dengan langit impian.
Tetapi fatalnya, ia pun lupa bagaimana caranya terbang, meski sepasang sayap indah itu masih tersusun dengan lengkap.
Setiap orang akan menyakiti.
Setiap orang akan selalu menyalahkan.
Setiap orang akan saling menjatuhkan karma.
Yang pada akhirnya diakhiri dengan sekmen menyerah.
Dimana semua orang menganggap inilah bagian terbaik dari rasa munafik.
Inilah bagian terindah dari rasa sakit.
Mereka yang jauh atau kitakah yang benar-benar jatuh?


"Love doesn't hurt. Expectations do" -unknow

Selasa, 27 September 2016

Tentang Siapa yang Bertahan dan Siapa yang Berharap

Orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.
Pada suatu hari, ada seorang pengusaha besar yang sedang membuat lelucon di panggung tempat ia berdiri, kemudian ia pun membuat sebuah lelucon yang lucu dan penonton pun tertawa dengan bahagianya.
Kemudian, pada waktu yang sama, jam yang sama, ia pun membuat lelucon yang sama pula, dan hanya sedikit penonton yang tertawa, karena menurutnya lelucon itu sudah pernah diulangi oleh pengusaha itu.
Dan pada yang ketiga kalinya, pengusaha itupun membuat lelucon yang sama pada waktu pertama kali dia buat lelucon, dan tidak ada penonton pun yang tertawa.
Kemudian pengusaha ini tertawa dan berkata "Bila kalian tidak bisa tertawa berulang pada lelucon yang sama, namun mengapa kalian selalu menangis pada hal yang sama?"
Tentang bertahan.
Tentang siapa yang kebal akan janji.
Janji yang lebih buruk dari sebuah kebohongan.
Ketika janji terucap, bukan hanya membuat mereka percaya terhadap janji, tetapi juga membuat mereka berharap akan janji.
Itulah dasarnya mengapa banyak orang yang berharap.
Berharap kepada ketidakpastian.
Berharap kepada hal yang sudah jelas tidak bisa ia miliki.
Berharap kepada sesuatu yang tidak mungkin.
Berharap dengan apa yang sia-sia.
Berharap dengan semua khayalan.
Tentang bertahan.
Ada seorang pria yang sedang bermain layangan, tanpa disadari, layangan itupun putus disaat sudah diterbangi dengan ketinggian yang maksimal.
Kemudian setelah layangan itu putus, pria itu bertanya kemana arah layangan yang putus itu pergi.
Nyatanya, mengapakah sejumlah orang selalu menanyakan hal-hal yang sudah dibiarkanya pergi?
Didalam baik dan buruknya setiap harapan, terkandung kemungkinan yang bisa mengubah makna keduanya. Tidur tidak selamanya berbaring. Berdiri tidak selalu tegak.
Fatalnya, masih banyak orang yang tabah bertahan apalagi berharap. Mereka tahu bahwa cinta bukanlah takdirnya, dan cinta cukuplah mencintai dari kejauhan.



Life is about creating balance, not supressing your good and not supressing your bad, for one can't exist without the other, embrace them equally. -Lita_

Kamis, 21 Juli 2016

Tentang Prioritas

Suatu keadaan yang mengesampingkan hal-hal tertentu dengan ketidakpastian. Keadaan yang sering berputar, seakan-akan adanya suatu ketidakmungkinan yang dapat menjamin dua hal yang berbeda bisa disatukan dengan mudahnya.
Bicara tentang prioritas. Bicara tentang menomorsatukan.
Prioritas.
Ya.
Sering disalah-artikan bahwa prioritas bisa untuk 2 hal. Inilah fatalnya.
Prioritas berbicara tentang siapa yang dinomorsatukan. Selain daripada prioritas itu sendiri, terpaksa harus dinomorduakan atau dengan kata lain dikesampingkan.
Lantas, apakah hal yang bukan di prioritaskan itu tidak penting?
Sering muncul beberapa argumensasi dari banyak kalangan bahwa sesuatu yang tidak menjadi prioritas adalah hal belakang dengan makna lain "tidak begitu dipentingkan".
Bicara tentang prioritas. Bicara tentang angka 1.
Angka 1 adalah angka egois. Angka yang berarti. Bila angka-angka yang lain dapat berdiri tanpa angka 1, maka nominalnya dicap sedikit bahkan dianggap tidak berarti.
Angka 1 juga adalah angka yang dapat memulai angka-angka yang lain. Mungkin saja, angka-angka yang lain tidak dapat disebutkan atau bahkan diingat jikalau angka 1 tidak disebut atau diingat pertama kali.
Sama halnya dengan prioritas.
Namanya juga prioritas, dengan otomatis segala sesuatu yang sudah disebut prioritas berarti itulah yang dinomorsatukan. Tanpa prioritas, mungkin hal-hal yang lain tidak mungkin bisa di follow-up kecuali di prioritaskan.
Bicara tentang prioritas. Bicara tentang hal yang dianggap penting dan yang tidak.
Sulit membedakan antara mana yang dianggap penting dan yang tidak. Bila kedua hal itu dianggap sama-sama memiliki makna dan arti yang sangat penting, lantas hal yang mana dulu yang harus di prioritaskan?
Sekali lagi mengapa harus ada keprioritasan?

Terkadang kita lupa bahwa segala sesuatu yang kita prioritaskan belum tentu memprioritaskan kita juga, jadi pada dasarnya, bila kita tau bagaimana cara kita untuk bersikap, kita akan mengerti apa saja yang harus menjadi prioritas kita.

"Don't have negative thought or thing you can't control. Instead invest your energi in the positive present moment." -Lita-

Senin, 26 Oktober 2015

Sahabat, Rasa dan Cinta (2)


SAHABAT, RASA DAN  CINTA

Semuanya masih karena persahabatan. Canda itu, tawa itu, rasa itu masih dalam naungan persahabatan yang kini kian beranjak dewasa layaknya sang remaja. Adalah hal tersulit ketika dua insan yang berlawanan jenis saling mengikat jalinan persahabatan yang tanpa diketahui telah menyimpan rasa antara mereka. Semuanya masih karena persahabatan. Satu pihak yang begitu malu untuk mengungkap rasa dibalik persahabatan, dan di pihak lain yang terlalu enggan untuk merasakan cinta dalam naungan persahabatan. Apakah ini hal terlarang? Kurasa tidak. Namun disisi lain, naluriku pun ikut bertanya. Berjuta pertanyaan yang kian berlari dibenakku. Apakah aku salah? Apakah ini hal yang wajar? Tapi mengapa hal ini bisa terjadi sedang kita sudah bersahabat sedari dulu?. Ya! Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang kerap kali muncul didalam benakku tentang rasa yang sebenarnya sudah lama terpendam dan aku tak mampu untuk bicara. Aku tak mampu untuk mengatakan apa yang seharusnya ku katakan. Aku tak mampu menjadi aku yang dulu, yang selalu bisa menceritakan semua hal yang ku alami dengannya. Berbeda! Saat itu, aku hanyalah aku. Sebatas seorang sahabat yang masih takut akan beratnya resiko bila terus memendam rasa yang kian semakin dalam kurasakan. Semua masih karena persahabatan. Aku yang hanya bisa mengagumi dari jauh, aku yang hanya bisa menyimpan dan menyembunyikan tentang perasaan yang kian luluh lantak ini. Aku hanya tidak ingin dia mengetahuinya. Cinta sendiri itu sudah cukuplah bagiku. Selalu menjadi sebuah misteri yang masih membayangi hari-hari yang telah ku lalui dengannya. Apakah aku mencintainya lebih dari sekedar sahabat? Atau adakah alasan lain untuk mencintainya selain karena persahabatan? Atau berhakkah aku menyayanginya lebih dari ini?. Semuanya masih karena persahabatan. Masih terlintas dalam bayangan masa lalu ketika kaki kecilku melangkah sedikit demi sedikit menghampirinya dengan alunan melodi yang indah. Tanpa rasa malu dan ragu pun kita bertemu, kita bermain, kita saling mengucapkan kata yang tidak kita sadari kata-kata itu akan kita rasakan ketika kita dewasa nanti, aku menangis saat itu dan diapun menghiburnya, kita yang dulu saling bertengkar dan dengan raut wajah yang polos kita saling meminta maaf tanpa dihalangi dengan rasa malu dan ragu yang kini aku rasakan. Ya! Semua kenangan itu. Semuanya masih karena persahabatan. Aku mungkin mencintainya lebih dari sekedar sahabat. Aku menyayanginya lebih dari seorang sahabat yang selalu ada setiap waktu. Hanya karena semuanya demi persahabatan. Yang tidak akan kubiarkan ikut larut dalam egoisnya perasaan yang kian semakin menyiksa batinku. Tentang aku dan sahabatku.






Created By : Lea Verlita Ranti

Tentang Aku


TENTANG AKU

Aku hanyalah seseorang yang sebenarnya tidak begitu paham mengenai kisah segelintir muda dan mudi yang kian menjadi suatu warisan turun-temurun untuk saling mengikat cinta. Iya cinta! Hal yang sering dirasakan, tapi tidak mengerti keberadaannya. Siapa aku? Aku adalah aku. Aku bukan peramal yang bisa menebak seseorang sedang dalam posisi jatuh cinta atau tidak. Aku bukan seorang pesulap yang mungkin bisa merubah perasaan seseorang. Aku bukan embun di pagi hari yang bisa membuat daun jatuh cinta terhadapku. Aku bukan penghapus yang rela ‘habis’ hanya karena kesalahan. Aku bukanlah tinta pulpen yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja tercoret diatas jernihnya kertas putih.
Aku juga bukan kertas yang selalu siap dihancurkan ketika tidak dibutuhkan. Aku bukan sepasang sepatu yang selalu bisa mengiringi indahnya langkah kaki kemanapun mereka pergi. Aku bukan bahasa yang tiap saat percaya dengan kata-kata. Aku bukan seperti kertas kosong yang tujuannya tidak tau untuk apa. Aku juga bukan sebuah bantal yang setiap malam selalu mengiringi tangisan dan air mata seseorang. Aku bukan seperti terang rembulan yang bisa menjadi pusat pandangan puluhan ribu pasang mata pada malam hari karena memancarkan cahaya nan indah bak lukisan. Aku adalah aku sebagaimana aku ada sekarang. Aku tidak berusaha mengubah diri menjadi orang lain, ataupun berpura-pura menjadi orang lain. Aku dan hidupku yang terkadang bercampur emosi dan logika yang berusaha menyatu. Aku tetap menjadi aku. Aku yang berusaha meraih mimpiku. Aku yang juga berusaha mewujudkan apa yang ku mau seiring berjalannya waktu. Ini aku. Aku bukan kamu. Kamu bukan aku. Aku yang selalu merasa putus asa. Aku yang selalu merasa aku tak mampu. Mungkin aku hanya sebutir debu ditengah gersangnya pasir yang selalu mengharap akan datangnya hujan. Aku hanya aku. Begitu juga dengan kamu. Kamu hanyalah kamu. Aku dan kamu mungkin tidak bisa menjadi sebuah cerita yang menggoreskan kisah tentang indahnya perasaan yang terpendam dalam hati kecil ini. Tak berarti pasti, tak bermakna arti. Aku melewatinya. Melewati itu semua tanpa pilu, ratap dan haru. Tetes demi tetes peluhku yang berjatuhan dan tidak mengusikku. Lelah dan letih tidak menggangguku. Aku ternyata hanyalah aku. Aku sadari itu. Aku punya sisi dimana pilu dan kelabu berusaha untuk menjadi satu. Kemudian aku terus berpikir, aku ternyata hanyalah aku. Aku tidak mampu jadi kamu. Kamu mungkin juga tidak mampu menjadi aku. Aku yang seolah berselimut jiwa yang juga bisa rapuh, sayu dan akhirnya ku layu. Kamu yang mungkin mampu mengubah kelam hidupku menjadi indah dan berwarna, kini mungkin hanya bisa mengurungku dalam hampanya ruang kosong yang penuh dengan kenangan yang kian berlarian dan memikul beratnya bebanku. Aku hanyalah aku. Aku tak mampu bicara. Aku tak mampu menjelaskan. Karena aku hanyalah aku. Aku yang tak mampu menjadi kamu. Kamu yang seolah menjadi pelangi sesaat dalam kelam dan kelabunya hidupku.



Created By : Lea Verlita Ranti

Rabu, 14 Januari 2015

Cahaya Mata

BAB 14
Ini Waktuku....

         Tibalah saat Pak Diman, Suster Yani, orang tua Aira, dan Aira sendiri datang menjemput Dara. Dara pun duduk bersebelahan dengan Aira.
        "Ai, hari ini sepertinya akan ada banyak bintang di angkasa," ucap Dara dengan senangnya.
        "Iya. Nanti Ai cerita bintang," balas Aira.
        Sepanjang perjalanan, Ai mencoba menggerakkan jari-jarinya sendiri, namun gagal. Jari-jarinya sudah sedemikian kaku. Dalam hati, ia berbicara pada dirinya sendiri. Dulu, ia bisa melakukan apa pun sedang kini ia tidak mampu melakukan pekerjaan yang semua orang menganggapnya mudah. Bahkan ketika harus memakai baju, Suster Yani yang harus mengambil alih. Kemudian, ia kembali bertanya apakah rencana Tuhan terhadap dirinya, apakah ada rencana yang indah untuknya.
        Aira lalu memperhatikan mata bulat Dara yang begitu indah. Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan Dara bisa melihat bintang-bintang itu dengan kedua matanya.
        Tuhan, seharusnya dia bisa melihat. Tapi aku sudah mengambil matanya yang indah itu. Izinkan aku menitipkan mataku untuknya, ucap Aira dalam hatinya.
        Aira menghela napas dalam-dalam. Ia tidak menyangka begitu cepatnya waktu berlalu sehingga hampir saja melupakan kenangan antara dirinya dengan Dara.
        Kenapa waktu begitu cepat berlalu? Dilihatnya Dara yang sedang tertidur lelap karena kelelahan bicara sepanjang perjalanan. Ia pun tersenyum lugu.
        Akhirnya, mereka sampai di Booscha. Observatorium Booscha terletak di dataran tinggi Lembang, sekitar lima belas kilometer ke arah utara Bandung. Mereka tiba sekitar pukul 17.00, waktu yang tepat untuk menunggu saat-saat melihat benda di Angkasa.
        "Ai, nanti Ai ceritakan bintang yang dilihat Ai, ya," ucap Dara kepada Aira.
        "Ya," jawab Aira, singkat. Sengaja ia menjawab dengan singkat untuk menghemat tenaganya.Ia tidak ingin ketika bercerita untuk Dara, tiba-tiba bibirnya kelu seperti saat kejadiannya pertama kali bertemu dengan Dara. Ia ingin melakukan yang terbaik untuk sahabatnya itu.
        Aira dibantu Suster Yani mengendalikan kursi rodanya ke arah pintu masuk observatorium. Ia mencoba menceritakan benda-benda yang ditemukannya. Ia meminta Suster Yani membantu Dara untuk memegangkan beberapa teleskop tersebut agar sahabatnya itu bisa merasakan apa yang Aira ceritakan.
        Kini, sudah waktunya dapat melihat bintang-bintang itu. Aira memilih satu teleskop yang ada di sana setelah meminta bantuan dari salah satu petugas. Sementara itu, Dara dengan antusiasnya berada di samping Aira. Ia mendengarkan Aira berbicara perlahan demi perlahan, menjelaskan bintang yang ia lihat.
        Beberapa menit kemudian, Aira tidak mampu mengeluarkan kata-katanya lagi. Ia seperti tersedak dan batuk begitu saja.
        "Ai, sudah tidak usah bercerita lagi," ucap Dara, mengerti kesehatan Aira yang semakin menurun. "Kita pulang saja, yuk."
        Aira menolak. Ia berusaha meraih tangan Dara yang sudah melangkah meninggalkannya. Hal ini membuat Aira terjatuh dari kursi rodanya. Suster Yani langsung menolong Aira saat itu juga. Aira mencoba untuk mengeluarkan kata-kata, namun tidak bisa. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya untuk mengambil buku harian yang selama ini ia simpan. Suster Yani menjadi kebingungan, tak dapat membaca apa yang sesungguhnya diinginkan oleh Aira. Papanya pun khawatir dengan keadaan Aira yang semakin menurun.
        "Ai, kita pulang saja, ya," bujuk papanya.
        Ai tetap menggelengkan kepalanya. Baginya, tugasnya kepada Dara belum selesai. Tuhan, izinkan aku berbicara dengan Dara. Waktuku tidak banyak lagi. Aku ingin dia tahu tentang hal ini.
        Sekali lagi, Aira memohon kepada Suster Yani agar mengerti apa yang diinginkannya.
        "Buku itu?" tanya Suster Yani, memastikan keinginan Aira.
        Aira mengangguk dengan senang karena Suster Yani akhirnya mengerti keinginannya.
        "Suster, kita sama-sama ke mobil. Aira harus ke rumah sakit segera," ucap ibunya yang sudah tidak sabar melihat Aira seperti ini.
        "Iya, Bu. Baik," ucap Suster Yani.
        Aira memohon kepada Suster Yani untuk membawakan buku hariannya agar ia mudah menulis jika sewaktu-waktu menginginkannya.
        Tiba-tiba sajam Aira merasa napasnya sangat sesak. Namun ia mencoba tetap tenang agar orang-orang tidak khawatir. Ia lalu meminta Suster Yani mendekat melalui gerakan tangannya.
        "Toilet," ucapnya dengan sangat perlahan.
        "Aira ingin ke toilet?" tanya ibunya.
        Aira mengangguk.
        Suster Yani lalu mengantarkan Aira ke toilet. Kembali ia memberikan isyarat kepada Suster Yani. Ia sengaja memilih tempat yang aman untuk menuliskan sesuatu. Segera ia meminta Suster Yani membukakan buku hariannya dan mengambilkan pena untuknya. Setelah Suster Yani menaruh pena itu di mulutnya, ia pun mulai menggerakkan mulutnya, menulis sesuatu.
            Kedua orang tua Aira sudah mulai gelisah karena belum munculnya Aira di hadapan mereka. Bagi mereka, sudah terlalu lama Aira dan Suster Yani ada di toilet. Mereka secepatnya harus membawa Aira ke rumah sakit.
            Sementara itu, didalam toilet, Aira akhirnya berhasil menuliskan satu kalimat yang lagnsung membuat Suster Yani menangis. Meskipun tulisannya tidak bagus, masih dapat terbaca.
“TOLONG TITIPKAN MATAKU UNTUK DARA”
            Aira lalu meminta Suster Yani menyimpan buku hariannya. Tampak mata Suster Yani berkaca-kaca ketika menerimanya. Setelah itu, Suster Yani buru-buru untuk membawa Aira keluar dari toilet.
            Aira tak bisa menahan air matanya ketika melihat Dara yang masih menunggu gelisah. Tuhan, apakah ini waktu untukku? Tapi ini terlalu cepat. Aku bahkan belum selesai menceritakan bintang-bintang itu kepada Dara.
            “Ai, kamu baik-baik saja?” tanya Dara kepada Aira.
            Aira mengangguk. “Tenanglah.”
            Kali ini, ia harus kuat. Ia tahu semua orang mengkhawatirkan dirinya. Ia menyadari bahwa mereka akan menangis untuknya. Namun, Aira tidak ingin hal itu terjadi. Sebisa mungkin ia coba untuk menenangkan mereka semua.
            Aku akan kembali ke rumah sakit, pikirnya. Aira mencoba untuk tenang kali ini. Setidaknya ia bisa mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena masih diberi waktu untuk bersama Dara walau hanya sebentar. Dan ia bahagia, menikmatinya. Jika pada akhirnya Tuhan memilihnya untuk tak berada di dunia lagi, paling tidak ia sudah siap dengan pesan untuk kedua orang tuanya yang sekarang berada di tangan Suster Yani.
            Dalam perjalanan, Aira kembali mengalami sesak napas. Lebih hebat dari sebelumnya. Meski sudah berusaha untuk tenang, tetap saja tidak bisa. Ia merasa waktunya tidak lama lagi. Tangannya tak pernah lepas dari genggaman Dara. Papa Aira pun meminta Pak Diman untuk secepatnya menuju rumah sakit terbaik di daerah Bekas, lokasi yang paling dekat.
            “Ai, bertahanlah. Kumohon, Ai. Kamu bisa,” ucap Dara berulang kali kepada Aira.
            Sesampainya di rumah sakit, Aira langsung dibawa ke ruang ICU. Tangannya masih tidak ingin lepas dari tangan Dara, seolah-olah masih ada hal yang ingin ia katakan. Alat bantu pernapasan dipasangkan di tubuh Aira.
            “Ai, bertahanlah, Sayang,” ucap mamanya dengan cemas.
            Sementara itu, papa Aira yang menyadari waktu putrinya tidak banyak lagi berusaha untuk ikhlas. Ia percaya Tuhan akan menempatkan putrinya itu di tempat yang indah. “Ai, jika kamu ingin pergi, pergilah dengan tenang, Papa sudah ikhlas, Sayang,”
            Aira mencoba tersenyum di depan kedua orangtuanya. Kemudian ia memanggil Suster Yani dengan lirikkan matanya. Suster Yani mengerti. Dengan tergesa, ia memberikan buku harian Aira kepada kedua orang tuanya setelah membukakan halaman yang terakhir kali ditulis oleh Aira.
            Keduanya membaca tulisan itu di depan Dara, “Tolong titipkan mataku untuk Dara,”
            Dara langsung menangis mendengarnya.
            “Ai, bukan sekarang waktumu. Kamu tidak berhak menentukan waktumu!” ucap Dara dengan marah bercampur sedih. Dara sama sekali tak menyangka Aira akan seperti ini.
            Aira meraih kedua tangan Dara, lalu berusaha mengucapkan seuatu, “Jangan bersedih,”
            “Aira, aku akan selalu tersenyum untukmu asalkan bukan sekarang waktu untukmu. Ini bukan waktumu, Aira. Berjuanglah. Kumohon......”
            “Terima kasih, Tuhan,” ucap Aira. Kemudian, ia menutup matanya dengan senyum untuk orang-orang yang selalu mendampinginya.
            Waktu berhenti untuk Aira. Perjuangannya dengan penyakitnya berakhir sudah. Kedua orang tuanya langsung menangis dan memeluk Aira saat itu juga.
            “Aira! Aira! Kamu dengarkan aku!” teriak Dara, berharap Aira masih dapat mendengarnya. “Masih banyak yang ingin kita lakukan,” Dara masih belum bisa melepaskan Aira saat ini. Baginya, waktu berjalan terlalu cepat.
            Sementara itu, papa Aira yang tampak lebih tegar berusaha menenangkan istrinya. Suster Yani pun berusaha menenangkan Dara. Ia juga tidak menyangka waktu begitu cepat untuk Aira.
            Namun bagi Aira sendiri, hari ini adalah hari terbaiknya. Ia bahagia bisa meninggalkan semuanya dengan penuh kelegaan setelah permintaan maafnya kepada Dara telah ia sampaikan. Ia pun bahagia ketika Dara sudah memaafkannya dan mewujudkan suatu keinginan mereka : Ke Booscha. [  ]

Selasa, 30 Desember 2014

Cahaya Mata

BAB 15
Matamu, Cahayaku.....

             Nama Dara Indah Cahyani dipanggil sebagai salah satu pemenang perancang busana muda berbakat dari Indonesia. Ia bahagia menerima penghargaan tersebut meski sempat tidak percaya kini telah menginjakkan kakinya di Prancis. Kebahagiaan tersendiri karena telah berhasil meraih mimpinya. Masih teringat dalam benaknya ketika Aira menitipkan matanya. Aira pasti sangat berharap dirinya mampu mewujudkan semua mimpi-mimpinya. Mimpinya yang pernah ia katakan kepada Aira. Ini matamu, Aira. Kupergunakan meraih mimpiku, ucapnya dalam hati sambil memegang matanya.
            Masih teringat kejadian lima tahun yang lalu di meja operasi, tepat satu minggu setelah kepergian Aira. Dara melakukan operasi pencangkokan mata yang berasal dari mata Aira. Dalam hatinya, ia berharap semoga Aira bahagia di alam sana.
            Selama operasi, kedua orang tua Aira turut menemani. Meskipun Aira sudah tidak ada, jika tiba-tiba merindukan sang putri, mereka masih bisa melihat mata Aira pada Dara. Bahkan, saat ini Dara memanggil kedua orang tua Aira dengan sebutan mama dan papa.
            Lima tahun setelah kepergian Aira, Dara telah berhasil meraih mimpinya. Setelah menerima penghargaannya, ia sudah tak sabar untuk segera menginjakkan kakinya di Menara Eiffel.
            "Aira, lihatlah.... Aku mampu melihat bintang dalam jarak yang dekat," gumam Dara ketika telah sampai ke puncak Menara Eiffel. "Kamu bisa merasakan dengan mata ini. Rasakanlah, Aira."

            Sekembalinya ke Indonesia, Dara langsung mengunjungi makam Aira. Ia menemukan Suster Yani dan kedua orang tua Aira tengah asyik menaburkan bunga di makam Aira.
            "Dara!" panggil mama Aira.
            "Maaf Dara terlambat, Ma. Pesawatnya sempat delay. Tapi Dara tadi langsung kok dari bandara."
            Mama Aira tidak menghiraukan keterlambatan Dara. 
            "Tak terasa sudah lima tahun ya, Dara."
            "Iya, Ma."
            "Oh ya, kami lupa menyampaikan ini. Kamu terlalu sibuk sekolah di Prancis, sih," ucap papa Aira. Ia pun meminta suster Yani untuk memberikan sebuah buku kepada Dara.
            "Astaga, buku ini! Sungguh aku melupakannya."
            "Ini untukmu," ucap mama Aira.
            "Iya, Ma. Terima kasih."
            "Tulislah cerita yang indah di buku ini, Dara," pesan mama Aira.
            "Iya, Ma."
            Kemudian, Dara bersimpuh dan mengucapkan terima kasih untuk cahaya barunya didepan nisan bertuliskan nama Aira Sahara.
            "Ai, aku akan menulis cerita yang indah di buku ini dengan cahaya yang kamu berikan. Terima kasih telah menitipkan matamu untukku. Matamu adalah cahaya yang baru untukku........"[ ]


Kutipan Novel "Cahaya Mata" karya Agustina Ardhani Saroso,2013