Senin, 09 Januari 2017

Tentang Menyerah Pada Kemunafikan

Dalam suatu dermaga yang dipenuhi banyak kapal yang juga penuh dengan muatan, kita akan mengerti bagaiman arasanya disinggahi kemudian ditinggal pergi.
Seringkali kita tidak menyadari bahwa bagian terbaik dari rasa sakit adalah melupakan semuanya yang pernah berkesan, dan selalu dibuat percaya pada cerita indah yang menanti disana, yang kenyataannya hanyalah dusta belaka yang begitu hebat untuk disembunyikan.
Tentang perasaan bicara tentang bagian terindah dari kemunafikan
Ketika seorang petani yang ingin membajak sawah, namun sudah tidak ada lagi tempat yang harus dibajak, untuk apa berlama-lama tinggal?
Keputusan untuk pergi dengan inisiatif, tidak perlu menunggu diusir.
Tentang perasaan, tentang kemunafikan, tentang sandiwara, semuanya mengarah pada satu hal yang spesifik, yaitu selalu tentang yang tak terucapkan.
Semakin lama kita peduli, semakin besar rasa kemunafikan kita yang harus terus berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apa-apa dalam keadaan yang belum tentu baik-baik saja.
Oleh sebab itu, semakin besar juga rasa bersalah kita dan akhirnya terbilang pada kategori menyerah pada kemunafikan.
Semakin besar rasa kepedulian kita, maka semakin besar juga dorongan kita untuk menyerah, kemudian melepaskan
Hal yang indah bukan?
Ketika kedua sayap indah seekor burung terpampang jelas begitu indahnya bersama dengan langit impian.
Tetapi fatalnya, ia pun lupa bagaimana caranya terbang, meski sepasang sayap indah itu masih tersusun dengan lengkap.
Setiap orang akan menyakiti.
Setiap orang akan selalu menyalahkan.
Setiap orang akan saling menjatuhkan karma.
Yang pada akhirnya diakhiri dengan sekmen menyerah.
Dimana semua orang menganggap inilah bagian terbaik dari rasa munafik.
Inilah bagian terindah dari rasa sakit.
Mereka yang jauh atau kitakah yang benar-benar jatuh?


"Love doesn't hurt. Expectations do" -unknow

Tidak ada komentar:

Posting Komentar