BAB 14
Ini Waktuku....
Tibalah saat Pak Diman, Suster Yani, orang tua Aira, dan Aira sendiri datang
menjemput Dara. Dara pun duduk bersebelahan dengan Aira.
"Ai, hari ini
sepertinya akan ada banyak bintang di angkasa," ucap Dara dengan
senangnya.
"Iya. Nanti Ai
cerita bintang," balas Aira.
Sepanjang
perjalanan, Ai mencoba menggerakkan jari-jarinya sendiri, namun gagal.
Jari-jarinya sudah sedemikian kaku. Dalam hati, ia berbicara pada dirinya
sendiri. Dulu, ia bisa melakukan apa pun sedang kini ia tidak mampu melakukan
pekerjaan yang semua orang menganggapnya mudah. Bahkan ketika harus memakai
baju, Suster Yani yang harus mengambil alih. Kemudian, ia kembali bertanya
apakah rencana Tuhan terhadap dirinya, apakah ada rencana yang indah untuknya.
Aira
lalu memperhatikan mata bulat Dara yang begitu indah. Entah mengapa, tiba-tiba
ia membayangkan Dara bisa melihat bintang-bintang itu dengan kedua matanya.
Tuhan,
seharusnya dia bisa melihat. Tapi aku sudah mengambil matanya yang indah itu.
Izinkan aku menitipkan mataku untuknya, ucap Aira dalam hatinya.
Aira
menghela napas dalam-dalam. Ia tidak menyangka begitu cepatnya waktu berlalu
sehingga hampir saja melupakan kenangan antara dirinya dengan Dara.
Kenapa
waktu begitu cepat berlalu? Dilihatnya Dara yang sedang tertidur lelap
karena kelelahan bicara sepanjang perjalanan. Ia pun tersenyum lugu.
Akhirnya, mereka sampai di Booscha. Observatorium Booscha terletak di dataran
tinggi Lembang, sekitar lima belas kilometer ke arah utara Bandung. Mereka tiba
sekitar pukul 17.00, waktu yang tepat untuk menunggu saat-saat melihat benda di
Angkasa.
"Ai, nanti Ai ceritakan bintang yang dilihat Ai, ya," ucap Dara
kepada Aira.
"Ya," jawab Aira, singkat. Sengaja ia menjawab dengan singkat untuk
menghemat tenaganya.Ia tidak ingin ketika bercerita untuk Dara, tiba-tiba
bibirnya kelu seperti saat kejadiannya pertama kali bertemu dengan Dara. Ia
ingin melakukan yang terbaik untuk sahabatnya itu.
Aira
dibantu Suster Yani mengendalikan kursi rodanya ke arah pintu masuk
observatorium. Ia mencoba menceritakan benda-benda yang ditemukannya. Ia
meminta Suster Yani membantu Dara untuk memegangkan beberapa teleskop tersebut
agar sahabatnya itu bisa merasakan apa yang Aira ceritakan.
Kini,
sudah waktunya dapat melihat bintang-bintang itu. Aira memilih satu teleskop
yang ada di sana setelah meminta bantuan dari salah satu petugas. Sementara
itu, Dara dengan antusiasnya berada di samping Aira. Ia mendengarkan Aira
berbicara perlahan demi perlahan, menjelaskan bintang yang ia lihat.
Beberapa menit kemudian, Aira tidak mampu mengeluarkan kata-katanya lagi. Ia
seperti tersedak dan batuk begitu saja.
"Ai, sudah tidak usah bercerita lagi," ucap Dara, mengerti kesehatan
Aira yang semakin menurun. "Kita pulang saja, yuk."
Aira
menolak. Ia berusaha meraih tangan Dara yang sudah melangkah meninggalkannya.
Hal ini membuat Aira terjatuh dari kursi rodanya. Suster Yani langsung menolong
Aira saat itu juga. Aira mencoba untuk mengeluarkan kata-kata, namun tidak
bisa. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya untuk mengambil buku harian yang
selama ini ia simpan. Suster Yani menjadi kebingungan, tak dapat membaca apa
yang sesungguhnya diinginkan oleh Aira. Papanya pun khawatir dengan keadaan
Aira yang semakin menurun.
"Ai, kita pulang saja, ya," bujuk papanya.
Ai
tetap menggelengkan kepalanya. Baginya, tugasnya kepada Dara belum selesai. Tuhan,
izinkan aku berbicara dengan Dara. Waktuku tidak banyak lagi. Aku ingin dia
tahu tentang hal ini.
Sekali lagi,
Aira memohon kepada Suster Yani agar mengerti apa yang diinginkannya.
"Buku
itu?" tanya Suster Yani, memastikan keinginan Aira.
Aira
mengangguk dengan senang karena Suster Yani akhirnya mengerti keinginannya.
"Suster, kita sama-sama ke mobil. Aira harus ke rumah sakit segera,"
ucap ibunya yang sudah tidak sabar melihat Aira seperti ini.
"Iya, Bu. Baik," ucap Suster Yani.
Aira
memohon kepada Suster Yani untuk membawakan buku hariannya agar ia mudah
menulis jika sewaktu-waktu menginginkannya.
Tiba-tiba sajam Aira merasa napasnya sangat sesak. Namun ia mencoba tetap
tenang agar orang-orang tidak khawatir. Ia lalu meminta Suster Yani mendekat
melalui gerakan tangannya.
"Toilet," ucapnya dengan sangat perlahan.
"Aira ingin ke toilet?" tanya ibunya.
Aira
mengangguk.
Suster
Yani lalu mengantarkan Aira ke toilet. Kembali ia memberikan isyarat kepada
Suster Yani. Ia sengaja memilih tempat yang aman untuk menuliskan sesuatu. Segera
ia meminta Suster Yani membukakan buku hariannya dan mengambilkan pena
untuknya. Setelah Suster Yani menaruh pena itu di mulutnya, ia pun mulai
menggerakkan mulutnya, menulis sesuatu.
Kedua
orang tua Aira sudah mulai gelisah karena belum munculnya Aira di hadapan
mereka. Bagi mereka, sudah terlalu lama Aira dan Suster Yani ada di toilet. Mereka
secepatnya harus membawa Aira ke rumah sakit.
Sementara
itu, didalam toilet, Aira akhirnya berhasil menuliskan satu kalimat yang
lagnsung membuat Suster Yani menangis. Meskipun tulisannya tidak bagus, masih
dapat terbaca.
“TOLONG TITIPKAN MATAKU UNTUK DARA”
Aira
lalu meminta Suster Yani menyimpan buku hariannya. Tampak mata Suster Yani
berkaca-kaca ketika menerimanya. Setelah itu, Suster Yani buru-buru untuk
membawa Aira keluar dari toilet.
Aira
tak bisa menahan air matanya ketika melihat Dara yang masih menunggu gelisah. Tuhan, apakah ini waktu untukku? Tapi ini
terlalu cepat. Aku bahkan belum selesai menceritakan bintang-bintang itu kepada
Dara.
“Ai,
kamu baik-baik saja?” tanya Dara kepada Aira.
Aira
mengangguk. “Tenanglah.”
Kali
ini, ia harus kuat. Ia tahu semua orang mengkhawatirkan dirinya. Ia menyadari
bahwa mereka akan menangis untuknya. Namun, Aira tidak ingin hal itu terjadi. Sebisa
mungkin ia coba untuk menenangkan mereka semua.
Aku akan kembali ke rumah sakit,
pikirnya. Aira mencoba untuk tenang kali ini. Setidaknya ia bisa mengucapkan
terima kasih kepada Tuhan karena masih diberi waktu untuk bersama Dara walau
hanya sebentar. Dan ia bahagia, menikmatinya. Jika pada akhirnya Tuhan memilihnya
untuk tak berada di dunia lagi, paling tidak ia sudah siap dengan pesan untuk
kedua orang tuanya yang sekarang berada di tangan Suster Yani.
Dalam
perjalanan, Aira kembali mengalami sesak napas. Lebih hebat dari sebelumnya. Meski
sudah berusaha untuk tenang, tetap saja tidak bisa. Ia merasa waktunya tidak
lama lagi. Tangannya tak pernah lepas dari genggaman Dara. Papa Aira pun
meminta Pak Diman untuk secepatnya menuju rumah sakit terbaik di daerah Bekas,
lokasi yang paling dekat.
“Ai,
bertahanlah. Kumohon, Ai. Kamu bisa,” ucap Dara berulang kali kepada Aira.
Sesampainya
di rumah sakit, Aira langsung dibawa ke ruang ICU. Tangannya masih tidak ingin
lepas dari tangan Dara, seolah-olah masih ada hal yang ingin ia katakan. Alat bantu
pernapasan dipasangkan di tubuh Aira.
“Ai,
bertahanlah, Sayang,” ucap mamanya dengan cemas.
Sementara
itu, papa Aira yang menyadari waktu putrinya tidak banyak lagi berusaha untuk
ikhlas. Ia percaya Tuhan akan menempatkan putrinya itu di tempat yang indah. “Ai,
jika kamu ingin pergi, pergilah dengan tenang, Papa sudah ikhlas, Sayang,”
Aira
mencoba tersenyum di depan kedua orangtuanya. Kemudian ia memanggil Suster Yani
dengan lirikkan matanya. Suster Yani mengerti. Dengan tergesa, ia memberikan
buku harian Aira kepada kedua orang tuanya setelah membukakan halaman yang
terakhir kali ditulis oleh Aira.
Keduanya
membaca tulisan itu di depan Dara, “Tolong titipkan mataku untuk Dara,”
Dara
langsung menangis mendengarnya.
“Ai,
bukan sekarang waktumu. Kamu tidak berhak menentukan waktumu!” ucap Dara dengan
marah bercampur sedih. Dara sama sekali tak menyangka Aira akan seperti ini.
Aira
meraih kedua tangan Dara, lalu berusaha mengucapkan seuatu, “Jangan bersedih,”
“Aira,
aku akan selalu tersenyum untukmu asalkan bukan sekarang waktu untukmu. Ini bukan
waktumu, Aira. Berjuanglah. Kumohon......”
“Terima
kasih, Tuhan,” ucap Aira. Kemudian, ia menutup matanya dengan senyum untuk
orang-orang yang selalu mendampinginya.
Waktu
berhenti untuk Aira. Perjuangannya dengan penyakitnya berakhir sudah. Kedua orang
tuanya langsung menangis dan memeluk Aira saat itu juga.
“Aira!
Aira! Kamu dengarkan aku!” teriak Dara, berharap Aira masih dapat mendengarnya.
“Masih banyak yang ingin kita lakukan,” Dara masih belum bisa melepaskan Aira
saat ini. Baginya, waktu berjalan terlalu cepat.
Sementara
itu, papa Aira yang tampak lebih tegar berusaha menenangkan istrinya. Suster Yani
pun berusaha menenangkan Dara. Ia juga tidak menyangka waktu begitu cepat untuk
Aira.
Namun
bagi Aira sendiri, hari ini adalah hari terbaiknya. Ia bahagia bisa
meninggalkan semuanya dengan penuh kelegaan setelah permintaan maafnya kepada
Dara telah ia sampaikan. Ia pun bahagia ketika Dara sudah memaafkannya dan
mewujudkan suatu keinginan mereka : Ke Booscha. [ ]