Senin, 26 Oktober 2015

Sahabat, Rasa dan Cinta (2)


SAHABAT, RASA DAN  CINTA

Semuanya masih karena persahabatan. Canda itu, tawa itu, rasa itu masih dalam naungan persahabatan yang kini kian beranjak dewasa layaknya sang remaja. Adalah hal tersulit ketika dua insan yang berlawanan jenis saling mengikat jalinan persahabatan yang tanpa diketahui telah menyimpan rasa antara mereka. Semuanya masih karena persahabatan. Satu pihak yang begitu malu untuk mengungkap rasa dibalik persahabatan, dan di pihak lain yang terlalu enggan untuk merasakan cinta dalam naungan persahabatan. Apakah ini hal terlarang? Kurasa tidak. Namun disisi lain, naluriku pun ikut bertanya. Berjuta pertanyaan yang kian berlari dibenakku. Apakah aku salah? Apakah ini hal yang wajar? Tapi mengapa hal ini bisa terjadi sedang kita sudah bersahabat sedari dulu?. Ya! Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang kerap kali muncul didalam benakku tentang rasa yang sebenarnya sudah lama terpendam dan aku tak mampu untuk bicara. Aku tak mampu untuk mengatakan apa yang seharusnya ku katakan. Aku tak mampu menjadi aku yang dulu, yang selalu bisa menceritakan semua hal yang ku alami dengannya. Berbeda! Saat itu, aku hanyalah aku. Sebatas seorang sahabat yang masih takut akan beratnya resiko bila terus memendam rasa yang kian semakin dalam kurasakan. Semua masih karena persahabatan. Aku yang hanya bisa mengagumi dari jauh, aku yang hanya bisa menyimpan dan menyembunyikan tentang perasaan yang kian luluh lantak ini. Aku hanya tidak ingin dia mengetahuinya. Cinta sendiri itu sudah cukuplah bagiku. Selalu menjadi sebuah misteri yang masih membayangi hari-hari yang telah ku lalui dengannya. Apakah aku mencintainya lebih dari sekedar sahabat? Atau adakah alasan lain untuk mencintainya selain karena persahabatan? Atau berhakkah aku menyayanginya lebih dari ini?. Semuanya masih karena persahabatan. Masih terlintas dalam bayangan masa lalu ketika kaki kecilku melangkah sedikit demi sedikit menghampirinya dengan alunan melodi yang indah. Tanpa rasa malu dan ragu pun kita bertemu, kita bermain, kita saling mengucapkan kata yang tidak kita sadari kata-kata itu akan kita rasakan ketika kita dewasa nanti, aku menangis saat itu dan diapun menghiburnya, kita yang dulu saling bertengkar dan dengan raut wajah yang polos kita saling meminta maaf tanpa dihalangi dengan rasa malu dan ragu yang kini aku rasakan. Ya! Semua kenangan itu. Semuanya masih karena persahabatan. Aku mungkin mencintainya lebih dari sekedar sahabat. Aku menyayanginya lebih dari seorang sahabat yang selalu ada setiap waktu. Hanya karena semuanya demi persahabatan. Yang tidak akan kubiarkan ikut larut dalam egoisnya perasaan yang kian semakin menyiksa batinku. Tentang aku dan sahabatku.






Created By : Lea Verlita Ranti

Tentang Aku


TENTANG AKU

Aku hanyalah seseorang yang sebenarnya tidak begitu paham mengenai kisah segelintir muda dan mudi yang kian menjadi suatu warisan turun-temurun untuk saling mengikat cinta. Iya cinta! Hal yang sering dirasakan, tapi tidak mengerti keberadaannya. Siapa aku? Aku adalah aku. Aku bukan peramal yang bisa menebak seseorang sedang dalam posisi jatuh cinta atau tidak. Aku bukan seorang pesulap yang mungkin bisa merubah perasaan seseorang. Aku bukan embun di pagi hari yang bisa membuat daun jatuh cinta terhadapku. Aku bukan penghapus yang rela ‘habis’ hanya karena kesalahan. Aku bukanlah tinta pulpen yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja tercoret diatas jernihnya kertas putih.
Aku juga bukan kertas yang selalu siap dihancurkan ketika tidak dibutuhkan. Aku bukan sepasang sepatu yang selalu bisa mengiringi indahnya langkah kaki kemanapun mereka pergi. Aku bukan bahasa yang tiap saat percaya dengan kata-kata. Aku bukan seperti kertas kosong yang tujuannya tidak tau untuk apa. Aku juga bukan sebuah bantal yang setiap malam selalu mengiringi tangisan dan air mata seseorang. Aku bukan seperti terang rembulan yang bisa menjadi pusat pandangan puluhan ribu pasang mata pada malam hari karena memancarkan cahaya nan indah bak lukisan. Aku adalah aku sebagaimana aku ada sekarang. Aku tidak berusaha mengubah diri menjadi orang lain, ataupun berpura-pura menjadi orang lain. Aku dan hidupku yang terkadang bercampur emosi dan logika yang berusaha menyatu. Aku tetap menjadi aku. Aku yang berusaha meraih mimpiku. Aku yang juga berusaha mewujudkan apa yang ku mau seiring berjalannya waktu. Ini aku. Aku bukan kamu. Kamu bukan aku. Aku yang selalu merasa putus asa. Aku yang selalu merasa aku tak mampu. Mungkin aku hanya sebutir debu ditengah gersangnya pasir yang selalu mengharap akan datangnya hujan. Aku hanya aku. Begitu juga dengan kamu. Kamu hanyalah kamu. Aku dan kamu mungkin tidak bisa menjadi sebuah cerita yang menggoreskan kisah tentang indahnya perasaan yang terpendam dalam hati kecil ini. Tak berarti pasti, tak bermakna arti. Aku melewatinya. Melewati itu semua tanpa pilu, ratap dan haru. Tetes demi tetes peluhku yang berjatuhan dan tidak mengusikku. Lelah dan letih tidak menggangguku. Aku ternyata hanyalah aku. Aku sadari itu. Aku punya sisi dimana pilu dan kelabu berusaha untuk menjadi satu. Kemudian aku terus berpikir, aku ternyata hanyalah aku. Aku tidak mampu jadi kamu. Kamu mungkin juga tidak mampu menjadi aku. Aku yang seolah berselimut jiwa yang juga bisa rapuh, sayu dan akhirnya ku layu. Kamu yang mungkin mampu mengubah kelam hidupku menjadi indah dan berwarna, kini mungkin hanya bisa mengurungku dalam hampanya ruang kosong yang penuh dengan kenangan yang kian berlarian dan memikul beratnya bebanku. Aku hanyalah aku. Aku tak mampu bicara. Aku tak mampu menjelaskan. Karena aku hanyalah aku. Aku yang tak mampu menjadi kamu. Kamu yang seolah menjadi pelangi sesaat dalam kelam dan kelabunya hidupku.



Created By : Lea Verlita Ranti

Rabu, 14 Januari 2015

Cahaya Mata

BAB 14
Ini Waktuku....

         Tibalah saat Pak Diman, Suster Yani, orang tua Aira, dan Aira sendiri datang menjemput Dara. Dara pun duduk bersebelahan dengan Aira.
        "Ai, hari ini sepertinya akan ada banyak bintang di angkasa," ucap Dara dengan senangnya.
        "Iya. Nanti Ai cerita bintang," balas Aira.
        Sepanjang perjalanan, Ai mencoba menggerakkan jari-jarinya sendiri, namun gagal. Jari-jarinya sudah sedemikian kaku. Dalam hati, ia berbicara pada dirinya sendiri. Dulu, ia bisa melakukan apa pun sedang kini ia tidak mampu melakukan pekerjaan yang semua orang menganggapnya mudah. Bahkan ketika harus memakai baju, Suster Yani yang harus mengambil alih. Kemudian, ia kembali bertanya apakah rencana Tuhan terhadap dirinya, apakah ada rencana yang indah untuknya.
        Aira lalu memperhatikan mata bulat Dara yang begitu indah. Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan Dara bisa melihat bintang-bintang itu dengan kedua matanya.
        Tuhan, seharusnya dia bisa melihat. Tapi aku sudah mengambil matanya yang indah itu. Izinkan aku menitipkan mataku untuknya, ucap Aira dalam hatinya.
        Aira menghela napas dalam-dalam. Ia tidak menyangka begitu cepatnya waktu berlalu sehingga hampir saja melupakan kenangan antara dirinya dengan Dara.
        Kenapa waktu begitu cepat berlalu? Dilihatnya Dara yang sedang tertidur lelap karena kelelahan bicara sepanjang perjalanan. Ia pun tersenyum lugu.
        Akhirnya, mereka sampai di Booscha. Observatorium Booscha terletak di dataran tinggi Lembang, sekitar lima belas kilometer ke arah utara Bandung. Mereka tiba sekitar pukul 17.00, waktu yang tepat untuk menunggu saat-saat melihat benda di Angkasa.
        "Ai, nanti Ai ceritakan bintang yang dilihat Ai, ya," ucap Dara kepada Aira.
        "Ya," jawab Aira, singkat. Sengaja ia menjawab dengan singkat untuk menghemat tenaganya.Ia tidak ingin ketika bercerita untuk Dara, tiba-tiba bibirnya kelu seperti saat kejadiannya pertama kali bertemu dengan Dara. Ia ingin melakukan yang terbaik untuk sahabatnya itu.
        Aira dibantu Suster Yani mengendalikan kursi rodanya ke arah pintu masuk observatorium. Ia mencoba menceritakan benda-benda yang ditemukannya. Ia meminta Suster Yani membantu Dara untuk memegangkan beberapa teleskop tersebut agar sahabatnya itu bisa merasakan apa yang Aira ceritakan.
        Kini, sudah waktunya dapat melihat bintang-bintang itu. Aira memilih satu teleskop yang ada di sana setelah meminta bantuan dari salah satu petugas. Sementara itu, Dara dengan antusiasnya berada di samping Aira. Ia mendengarkan Aira berbicara perlahan demi perlahan, menjelaskan bintang yang ia lihat.
        Beberapa menit kemudian, Aira tidak mampu mengeluarkan kata-katanya lagi. Ia seperti tersedak dan batuk begitu saja.
        "Ai, sudah tidak usah bercerita lagi," ucap Dara, mengerti kesehatan Aira yang semakin menurun. "Kita pulang saja, yuk."
        Aira menolak. Ia berusaha meraih tangan Dara yang sudah melangkah meninggalkannya. Hal ini membuat Aira terjatuh dari kursi rodanya. Suster Yani langsung menolong Aira saat itu juga. Aira mencoba untuk mengeluarkan kata-kata, namun tidak bisa. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya untuk mengambil buku harian yang selama ini ia simpan. Suster Yani menjadi kebingungan, tak dapat membaca apa yang sesungguhnya diinginkan oleh Aira. Papanya pun khawatir dengan keadaan Aira yang semakin menurun.
        "Ai, kita pulang saja, ya," bujuk papanya.
        Ai tetap menggelengkan kepalanya. Baginya, tugasnya kepada Dara belum selesai. Tuhan, izinkan aku berbicara dengan Dara. Waktuku tidak banyak lagi. Aku ingin dia tahu tentang hal ini.
        Sekali lagi, Aira memohon kepada Suster Yani agar mengerti apa yang diinginkannya.
        "Buku itu?" tanya Suster Yani, memastikan keinginan Aira.
        Aira mengangguk dengan senang karena Suster Yani akhirnya mengerti keinginannya.
        "Suster, kita sama-sama ke mobil. Aira harus ke rumah sakit segera," ucap ibunya yang sudah tidak sabar melihat Aira seperti ini.
        "Iya, Bu. Baik," ucap Suster Yani.
        Aira memohon kepada Suster Yani untuk membawakan buku hariannya agar ia mudah menulis jika sewaktu-waktu menginginkannya.
        Tiba-tiba sajam Aira merasa napasnya sangat sesak. Namun ia mencoba tetap tenang agar orang-orang tidak khawatir. Ia lalu meminta Suster Yani mendekat melalui gerakan tangannya.
        "Toilet," ucapnya dengan sangat perlahan.
        "Aira ingin ke toilet?" tanya ibunya.
        Aira mengangguk.
        Suster Yani lalu mengantarkan Aira ke toilet. Kembali ia memberikan isyarat kepada Suster Yani. Ia sengaja memilih tempat yang aman untuk menuliskan sesuatu. Segera ia meminta Suster Yani membukakan buku hariannya dan mengambilkan pena untuknya. Setelah Suster Yani menaruh pena itu di mulutnya, ia pun mulai menggerakkan mulutnya, menulis sesuatu.
            Kedua orang tua Aira sudah mulai gelisah karena belum munculnya Aira di hadapan mereka. Bagi mereka, sudah terlalu lama Aira dan Suster Yani ada di toilet. Mereka secepatnya harus membawa Aira ke rumah sakit.
            Sementara itu, didalam toilet, Aira akhirnya berhasil menuliskan satu kalimat yang lagnsung membuat Suster Yani menangis. Meskipun tulisannya tidak bagus, masih dapat terbaca.
“TOLONG TITIPKAN MATAKU UNTUK DARA”
            Aira lalu meminta Suster Yani menyimpan buku hariannya. Tampak mata Suster Yani berkaca-kaca ketika menerimanya. Setelah itu, Suster Yani buru-buru untuk membawa Aira keluar dari toilet.
            Aira tak bisa menahan air matanya ketika melihat Dara yang masih menunggu gelisah. Tuhan, apakah ini waktu untukku? Tapi ini terlalu cepat. Aku bahkan belum selesai menceritakan bintang-bintang itu kepada Dara.
            “Ai, kamu baik-baik saja?” tanya Dara kepada Aira.
            Aira mengangguk. “Tenanglah.”
            Kali ini, ia harus kuat. Ia tahu semua orang mengkhawatirkan dirinya. Ia menyadari bahwa mereka akan menangis untuknya. Namun, Aira tidak ingin hal itu terjadi. Sebisa mungkin ia coba untuk menenangkan mereka semua.
            Aku akan kembali ke rumah sakit, pikirnya. Aira mencoba untuk tenang kali ini. Setidaknya ia bisa mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena masih diberi waktu untuk bersama Dara walau hanya sebentar. Dan ia bahagia, menikmatinya. Jika pada akhirnya Tuhan memilihnya untuk tak berada di dunia lagi, paling tidak ia sudah siap dengan pesan untuk kedua orang tuanya yang sekarang berada di tangan Suster Yani.
            Dalam perjalanan, Aira kembali mengalami sesak napas. Lebih hebat dari sebelumnya. Meski sudah berusaha untuk tenang, tetap saja tidak bisa. Ia merasa waktunya tidak lama lagi. Tangannya tak pernah lepas dari genggaman Dara. Papa Aira pun meminta Pak Diman untuk secepatnya menuju rumah sakit terbaik di daerah Bekas, lokasi yang paling dekat.
            “Ai, bertahanlah. Kumohon, Ai. Kamu bisa,” ucap Dara berulang kali kepada Aira.
            Sesampainya di rumah sakit, Aira langsung dibawa ke ruang ICU. Tangannya masih tidak ingin lepas dari tangan Dara, seolah-olah masih ada hal yang ingin ia katakan. Alat bantu pernapasan dipasangkan di tubuh Aira.
            “Ai, bertahanlah, Sayang,” ucap mamanya dengan cemas.
            Sementara itu, papa Aira yang menyadari waktu putrinya tidak banyak lagi berusaha untuk ikhlas. Ia percaya Tuhan akan menempatkan putrinya itu di tempat yang indah. “Ai, jika kamu ingin pergi, pergilah dengan tenang, Papa sudah ikhlas, Sayang,”
            Aira mencoba tersenyum di depan kedua orangtuanya. Kemudian ia memanggil Suster Yani dengan lirikkan matanya. Suster Yani mengerti. Dengan tergesa, ia memberikan buku harian Aira kepada kedua orang tuanya setelah membukakan halaman yang terakhir kali ditulis oleh Aira.
            Keduanya membaca tulisan itu di depan Dara, “Tolong titipkan mataku untuk Dara,”
            Dara langsung menangis mendengarnya.
            “Ai, bukan sekarang waktumu. Kamu tidak berhak menentukan waktumu!” ucap Dara dengan marah bercampur sedih. Dara sama sekali tak menyangka Aira akan seperti ini.
            Aira meraih kedua tangan Dara, lalu berusaha mengucapkan seuatu, “Jangan bersedih,”
            “Aira, aku akan selalu tersenyum untukmu asalkan bukan sekarang waktu untukmu. Ini bukan waktumu, Aira. Berjuanglah. Kumohon......”
            “Terima kasih, Tuhan,” ucap Aira. Kemudian, ia menutup matanya dengan senyum untuk orang-orang yang selalu mendampinginya.
            Waktu berhenti untuk Aira. Perjuangannya dengan penyakitnya berakhir sudah. Kedua orang tuanya langsung menangis dan memeluk Aira saat itu juga.
            “Aira! Aira! Kamu dengarkan aku!” teriak Dara, berharap Aira masih dapat mendengarnya. “Masih banyak yang ingin kita lakukan,” Dara masih belum bisa melepaskan Aira saat ini. Baginya, waktu berjalan terlalu cepat.
            Sementara itu, papa Aira yang tampak lebih tegar berusaha menenangkan istrinya. Suster Yani pun berusaha menenangkan Dara. Ia juga tidak menyangka waktu begitu cepat untuk Aira.
            Namun bagi Aira sendiri, hari ini adalah hari terbaiknya. Ia bahagia bisa meninggalkan semuanya dengan penuh kelegaan setelah permintaan maafnya kepada Dara telah ia sampaikan. Ia pun bahagia ketika Dara sudah memaafkannya dan mewujudkan suatu keinginan mereka : Ke Booscha. [  ]